Fenomena Demam BIMBEL agar Jebol Perguruan Tinggi

Fenomena Demam BIMBEL agar Jebol Perguruan Tinggi
Oleh: Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Bimbel adalah singkatan dari “Bimbingan Belajar”. Apakah kegiatan yang dilakukan dalam lembaga bimbel memang “memimbing pembelajaran” agar siswa bisa jebol ke perguruan tinggi. Pernyataan yang masih penulis ingat dari Prof. Dr. Jalius Jama (saat mengikuti kuliah pada Pascasarjana UNP, 2007) mengatakan bahwa kegitan pada bimbel bukan murni kegiatan pembelajaran, yang ada cuma proses melatih menjawab ratusan soal-soal yang kemungkinan diujikan dalam ujian masuk perguruan tinggi. Sementara kalau pembelajaran yang ideal musti ada proses pembelajaran yang bukan instan atau praktek untuk mendapatkan hasil yang ideal.

Siswa-siswi yang ikut bimbel selalu target nilai yang mereka sebut dengan passing grade atau tingkat
kelulusan. Pengelola bimbel member test awal dan kemudian memberi tahu tentang passing grade mereka. Kemudian siswa diminta untuk mengejar passing grade setinggi mungkin. “Kamu mau jadi apa nanti..?” Umumnya siswa menjawab “tidak tahu”. Ini benar karena banyak anak-anak sekarang yang belum memiliki cita-cita walau mereka sudah remaja. “Mau melanjutkan pekerjaan yang telah dirintis oleh orang tua ?” Merekapun juga tidak bisa berkomentar.

Tampaknya banyak siswa yang mengikuti pelatihan pada bimbel terlalu menggantungkan cita-cita mereka pada passing grade. Mereka yang ikut bimbel diberi tahu tentang passing grade yang terendah sampai ke yang tertinggi. Passing grade kemudian disesuaikan dengan jurusannya. Cita-cita atau penjurusan siswa/ calon mahasiswa kemudian disesuaikan menurut passing grade. Gara-gara mematok passing grade, potensi dan bakat mereka bisa terabaikan. Seorang anak yang pendiam namun tekun berlatih menjawab soal soal ujian hingga bisa memperoleh skor tinggi, kriteria passing grade untuk masuk jurusan Hubungan Internasional, sebagai contoh. “nah kamu cocok nanti kuliah di Hubungan Internasional”

Apakah cocok jurusan tadi buat siswa tadi ? Tentu tidak, namun ada pelayanan konsultasi yang disediakan oleh lembaga Bimbel. Kemudian atas nama mengejar passing grade dan ikut-ikutan bimbel, ada siswa yang orang tuanya sudah memiliki usaha optikal yang mapan. Sang orang tua berharap agar sang anak cukup kuliah pada akademi Refraksi saja karena lebih relevan dengan usaha optikal ayahnya. Namun sang anak dibujuk dan dirayu teman- hingga juga ikut- ikutan bimbel dan ternyata passing gradenya cocok untuk masuk fakultas kedokteran. “Wah kamu hebat cocok untuk masuk ke fakultas Kedokteran !” Sekarang bagaimana, apakah sang anak akan mengikuti saran orang tua atau mengikuti mimpi yang ditawarkan oleh tentor bimbel ? Lembaga bimbel tentu tidak salah karena juga punya misi untuk mencerdaskan bangsa ini.

Entah kapan demam pergi bimbel itu dimulai. Sekarang banyak siswa demam bimbel, belum lagi selesai UAS (ujian akhir sekolah) dan UN (ujian nasional) mereka sudah kasak kususk untuk mendaftar agar bisa ikut bimbel di tempat bimbel yang dianggap favourite. “Mama..papa...teman-teman udah pada mendaftar bimbel, minta uang satu juta dong...aku juga ikut bimbel” Pemilik usaha bimbel juga cerdik dalam menarik keuntungan dan menggunakan moment ketakutan siswa kalau tidak bisa kuliah kelak, dan segera memajang iklan. “Bergabunglah bersama bimbel ini kalau tidak jebol perguruan tinggi, uang akan dikembalikan. Mendaftarlah sekarang...buruan. Kalau pendaftaran sekaran biaya bimbel akan dikorting/ dapat potongan, kalau pendaftaran bimbel habis ujian nasional maka biaya bimbel bisa naik menjadi sekian jura rupiah”. Maka ramailah siswa yang trauma/takut tidak kuliah menyetor uang dan lembaga bimbel meraup rejeki. Siswa yang tak punya uang untuk ikut bimbel ya menangis atau mencak mencak dan ngambek pada orang tua. “Anak ku....tanpa bimbel kamu juga bisa jebol kuliah, asal kamu bisa belajar yang benar, lebih baik gunakan uang yang sekarang sebagai uang pangkal kuliah, kalau diterima kelak”, kata salah seorang orang tua.

Saat penulis masih remaja di pertengahan tahun 1980-an, bimbel belum lagi menjadi fenomena. Yang ada saat itu adalah kegiatan belajar mandiri dan musim belajar berkelompok. Juga ada remaja yang senang melakukan otodidak- belajar secara mandiri- untuk meraih sukses dalam bidan akademi. Banyak remaja saat itu yang tidak hanya terfokus pada pelajaran sekolah semata, mereka juga menggemari kegiatan olah fisik.

Bila sore datang, mereka segera menyerbu lapangan untuk berolah raga. Ada yang menyukai bola kaki, volley ball, bulu tangkis, renang, atau sengaja berlari keliling lapangan untuk sekedar menghangatkan badan hingga berkeringat. Kesannya adalah bahwa banyak remaja tahun 1980-an yang gemar berolah raga. Banyak remaja yang badanya keringatan setiap sore, otot/ tubuh lebih kuat dan sehat.

Teman teman penulis saat remaja di SMAN 1 Payakumbuh, prestasi mereka di sekolah biasa-biasa saja, namun di luar sekolah mereka juga melibatkan diri dalam kegiatan sosial “ikut kegiatan karang taruna, ikut acara di RT atau desa, dan juga melibatkan diri dalam membantu pekerjaan orang tua- membuka toko, merapikan rumah, dll. Hingga mereka juga ikut bertanggung jawab. Mereka sekarang ternyata juga dalam profesi mereka- sebagai pemilik modal di perusahaan, bekerja pada perusahaan penerbangan, perkapalan, perminyakan, hingga ada yang memiliki bisnis yang mapan. Sementara teman penulis yang cuma sekedar rajin di sekolah namun passif dalam masyarakat, hanya bisa menjadi PNS tingkat rendah saja.

Fenomena belajar siswa kita cukup kontra dengan siswa dari negara maju. Seorang keponakan yang baru saja selesai mengikuti program YES (Youth Exchange Student) di Amerika Serikat mengatakan bahwa siswa-siswi tingkat SMA di Amerika kalau pulang sekolah buru buru pergi ke lapangan untuk berolahraga. Ada yang menyukai soccer, baseball, atletik, berkuda, climbing dan lain-lain. Mereka mengikuti kegiatan olah raga secara serius bukan ikut ikutan teman. Mereka sangat menikmati aktivitas tersebut hingga badan keringatan. Hasilnya adalah badan mereka terlihat lebih gagah, lebih atletik, tidak layu. Tubuh mereka menjadi kuat dan suara lebih lepas, satu lagi mereka lebih percaya diri dan tidak pemalu.

Ini cukup kontra dengan siswa/ pelajar kita. Pernyataan ini bukan untuk merendahkan bangsa sendiri. Katanya bahwa siswa di sini kalau pulang sekolah ya buru buru mengejar bimbel. Pada hal sejak pagi hingga siang selama tujuh atau delapan jam sudah belajar di sekolah. “Apakah tidak cukup belajar di sekolah untuk mereka jadi pintar?”. Dalam kenyataan bahwa sebahagian mereka pergi bimbel cuma sekedar iseng-iseng. Mereka malah pergi mejeng, main main HP, dengar lagu dan berbagi gossip. Cuma bebera menit saja mereka serius dalam belajar”. Ditegur oleh guru bimbel, takut ngambek dan tidak datang lagi, bimbel sendiri bisa sepi dan tidak dapat untung.

Ada kesan bahwa remaja kita kurang suka berolah raga. Pantasan banyak mereka yang memiliki tubuh lemah, akhirnya jiwa juga lemah- hingga menjadi penakut dan cengeng. Mereka takut dengan kecoa, takut dengan cacing tapi berani dengan rokok dan tidak takut sakit kanker (seperti peringatan pada kotak rokok). Remaja kita juga kurang tertarik jalan kaki, untuk menempuh jarak hanya setengah kilo saja, mereka selalu minta diantar atau naik ojek. “Wah budaya manja dan pemborosan”.

Akibat tidak tertarik berolah raga telah membuat remaja kita kurang heroik, senang taqwuran dan tidak sportif- tidak siap menerima kekalahan dengan jiwa besar. Bila kalah ya mengamuk dan membabi buta. Kalau bicara, suaranya kurang keluar dan tidak berani memikul tanggung jawab.
Ternyata orang-orang yang menyukai olah raga, lebih ramah dan mudah mengatakan “hello” dari pada mereka yang pasif dan terlalu kutu buku, serta kuper (kurang pergaulan). Karakter remaja/ siswa kita yang lain adalah seperti pencemas, penakut, mudah terhasud untuk tawuran dan kurang siap untuk berkompetisi.

Kapan ya pergi bimbel menjadi fenomena ? Dulu tidak ada demam bimbel seperti sekarang. Kalau ada siswa yang kurang memahami konsep pelajaran, maka sang siswa secara spontan akan menemui guru bidang studi yang bersangkutan. Namun sekarang bimbel itu “apakah sebagai program remedial atau program enrichment (pengayaan)?”. Program remedial tentu disediakan untuk siswa yang kurang menguasai konsep pelajaran, sementara program pengayaan (enrichment) adalah untuk siswa yang sudah tuntas. Pada bimbel kedua kelompok siswa ini digabung dan membayar sama. Siswa yang lemah tentu jadi bosan, patah semangat dan mereka hanya sekedar menyumbang uang ke sana. Lembaga bimbel tidak rugi.

Kata sebahagian orang tua bahwa biaya bimbel itu cukup mahal, dan belum tentu menjamin seorang anak untuk bisa lulus ke perguruan tinggi. Namun lembaga bimbel punya strategi untuk mencari siswa/ untung. Ia mendatangi anak/ sekolah yang cerdas dan orang tuanya berduit untuk ikut bimbel dan dilatih untuk mengerjakan soal-soal masuk perguruan tinggi. Kelak bila siswa jebol masuk masuk perguruan tinggin favourite akan dibuat iklan dalam selebaran, “Siswa-siswi ini sukses lewat bimbelnya- pada hal yang lebih menentukan kesuksesan sang siswa adalah factor ketekunan yang sudah terbentuk dari rumah dan sekolah. Lembaga bimbel hanya sebagai wadah untuk waspada dan sebagai wadah penghilang kecemasan sang siswa yang banyak takut bakal tak jebol kuliah.

Wah biaya bimbel itu mahal, apalagi untuk program super intensive bisa jutaan rupiah, dan tidak mungkin bisa dijangkau oleh anak-anak petani dan anak-anak buruh. Kalau ikut bimbel seolah-olah ada jaminan untuk bisa masuk jurusan dan universitas bergengsi, maka apakah anak-anak orang miskin tidak bisa studi di sana ?.

Sejak kapan program bimbel diburu oleh siswa ? Ya sejak terjadi gejala pengidolaan sekolah, yaitu gejala atau fenomena memfavoritkan suatu sekolah dan suatu universitas. Bahwa sekolah yang favorit itu adalah “sekolah unggul, sekolah plus, sekolah percontohan, sekolah berstandar nasional”. Pokoknya sekolah yang punya label, malah sekarang sekolah berlabel “Bertaraf Rintisan Internasinal”, diplesetkan menjadi sekolah BERTARIF INTERNASIONAL. Itu karena biaya belajarnya di ruang ber-AC yang cukup mahal dan kualitasnya biasa-biasa saja. Gara-gara ada sekolah berlabel maka berduyun-duyunlah orang tua mengatarkan anak mereka untuk belajar di sana. Ini juga bagus. Ternyata sukses juga bisa dari sekolah pinggiran. Seorang siswa yang bernama Ranti Komala Sari, hanya jebolan dari sekolah pelosok Batusangkar, yaitu SMAN 1 Padang Ganting, Kabupaten Tanah Datar. Namun sekarang ia bisa mengikuti kuliah double degree untuk program master pada Univertsitas Sorbone, Perancis. Sukses itu ada dimana-mana.

Lagi-lagi tamatan SLTA- terutama tamatan SMA- berduyun-duyun mencari tempat kuliah yang juga favourite seperti di UI, ITB, UNPAD, UNDIP, UGM, pokoknya universitas di pulau Jawa. Untuk bisa jebol ke sana tentu amat susah. Mereka harus bisa mencapai passing grade yang tinggi. Yang mengerti tentang passing grade bukan guru dan bukan sekolah, tetapi adalah wilayah kekuasaan lembaga bimbingan belajar. Bimbel yang kualitasnya bagus tentu saja biayanya mahal. Bimbel yang bagus diidentikan bisa menjamin siswa bisa lolos ke perguruan tinggi. Tetapi aneh, ada siswa yang ikut program bimbel dengan biaya mahal ternyata tak jebol. “Mungkin pilihan jurusan terlalu tinggi”. Juga ada yang ikut bimbel dengan biaya mahal dan ternyata hanya jebol pada jurusan biasa-biasa saja- yang mana tanpa ikut bimbel seseorang akan juga bisa jebol.

Kenapa guru bimbel diidolakan ? Guru bimbel sama halnya dengan guru pada beberapa sekolah lain. Mereka tentu direkrut dari lulusan perguruan tinggi dengan seleksi yang baik- indek kumulatif tinggi dan kepribadian yang menarik- ramah dan menyenangi karir mengajar. Sementara rekruitmen guru kebanyakan cuma berdasarkan hasil test tertulis dan jarang sekali melewati test wawancara, sehingga begitu sudah berada di lapangan, ditemui prilaku guru yang kadang-kadang bertentangan dengan jiwa pendidik. Mereka berkarakter suka marah, suka naik pitam, mudah ketus dan tidak menyukai karir mengajar.

Bimbel sepanjang tahun tetap diburu karena dianggap bisa membantu siswa untuk mewujudkan mimpi mereka menuju perguruan tinggi. Bimbel yang menarik tentu saja biayanya mahal, karena tempat latihan menjawab soal-soal ujian berada dalam kelas nyaman dan sejuk. Bimbel juga dibimbing oleh tentor/guru yang cerdas, ramah dan penyabar. Ini adalah bentuk pelayanan mereka yang harganya dibayar mahal oleh siswa. Sehingga siswa menjadi betah dalam belajar. Siswa siswi tidak akan mendengar cercaan, ejekan, kemarahan yang mana suasana begini bisa ditemukan pada beberapa sekolah.

Akhirnya diyakini bahwa bimbel itu sangat berguna sebagai partner bagi sekolah dan guru dalam menjaga minat dan motivasi siswa untuk menuju perguruan tinggi. Bagi yang punya uang silahkan ikut bimbel di tempat yang mahal. Namun tidak ada jaminan bahwa setelah ikut bimbel bakal jebol keperguruan tinggi, karena yang sukses dalam bimbel adalah anak-anak yang telah rajin atau memiliki motivasi belajar yang tinggi sejak dari rumah dan sekolah. Sedangkan tempat bimbel tinggal mempoles sedikit saja. Selalulah berusaha dan hasilnya serahkan pada Allah azza Wajalla.

Comments

Popular posts from this blog

Charles Babbage, Penemu Komputer Pertama !!???

Teori Arkeologi

Menomorduakan orang kecil