Kasihan…..Anak- Anak Tanpa Masa Depan

Kasihan…..Anak- Anak Tanpa Masa Depan


Oleh: Marjohan

http://penulisbatusangkar.blogspot.com

Semua orang Minangkabau (orang Padang) pasti mengikuti garis keturunan ibu (matriachat) dan ibuku sendiri berasal dari Lubuk Alung. Nenekku memiliki sawah- ladang dan perumahan di tepi aliran Batang Anai, kira-kira 3 km dari pasar Lubuk Alung. Aku tidak tahu banyak tentang nenekku dan siapa serta bagaimana dengan anak-anak dari nenekku tersebut. Yang masih aku ingat adalah bahwa ibuku memiliki 8 orang bersaudara dan masing masing memiliki anak yang cukup banyak, berkisar 4 orang sampai sepuluh orang. Itulah kelemahan ibuku- dan juga kelemahan beberapa orang lain- yang tidak terbiasa memperkenalkan anaknya dengan anggota keluarga besarnya. Sehingga aku hampir hampir tidak banyak mengenal mereka, malah saat aku pulang kampung aku sendiri merasa sebagai orang asing di antara mereka.


Andaikata aku dibesarkan di sekitar rumah nenekku, pastilah aku akan ikut tumbuh sebagai anak- anak yang juga kurang beruntung dalam memandang masa depan. Aku dan saudara kandungku dibesarkan di kota lain (Payakumbuh), dimana ayahku bertugas sebagai polisi. Aku beruntung bisa tumbuh di daerah perkotaan dengan latar belakang budaya yang cukup heterogen sehingga aku bisa memiliki motivasi hidup yang tinggi dan kompetisi belajar yang juga besar hingga aku bisa memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik dibanding familiku di daerah asal usulku- Lubuk Alung. Dimana sebagian besar kaum kerabatku tumbuh tanpa masa depan dan mereka cenderung memiliki pribadi yang rapuh- mudah putus asa.

Ibuku mengatakan bahwa nenekku memiliki 8 orang anak dan masing-masing mereka memilki anak- anak yang banyak. Sayangnya perkawinan mereka semua hampir tidak bahagia. Pamanku yang paling tua menjalani hari-hari tua seolah-olah diasingkan dari keluarganya. Tatkala ia mengalami sakit pneumonia- paru-paru berair- maka semua anak-anaknya enggan untuk memelihara dan mengantarkan ayah mereka yang bertubuh lemah dan sakit sakitan ke tempat nenek ku. Ibarat kata pepatah “habis manis sepah dibuang”.

Ibuku mengatakan bahwa pamanku, sewaktu muda cukup bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya, buktinya ia bisa membangunkan sebuah rumah yang cukup bagus buat istri dan anak-anaknya. Namun mengapa ia dibuang atau diasingkan di hari tuanya saat ia mengalami sakit hingga ia meninggal dunia dalam keadaan menderita dan kesepian.

Aku rasa bahwa rasa kemanusiaan anak-anak perlu untuk ditumbuhkan. Anak-anak yang tidak terbiasa dilatih untuk mencintai sesama dan menyayangi sesama akan tumbuh menjadi pribadi yang tanpa hati- rasa cinta. Anak-anak yang tidak punya hubungan batin yang erat dengan ayahnya sejak kecil, ya akan tetap renggang hingga akhir hayat ayahnya. Aku rasa pamanku waktu muda- pada awal punya anak- kemungkinan lupa untuk membangun jembatan hati dengan anaknya. Barangkali ia cenderung memelihara karakter yang otoriter dan banyak marah dan serba memerintah, itulah bahwa akhirnya semua anaknya tidak memiliki rasa rindu pada ayahnya.

Nasib pamanku yang ke dua juga tidak lebih baik dari yang pertama. Aku masih ingat bahwa pamanku yang ke dua cukup berkarakter pekerja keras- ia memiliki kecakapan sebagai tukang bangunan dan sebagai petani. Ia bisa membuatkan rumah yang cukup besar untuk istri dan anak-anaknya. Namun yang belum ia miliki adalah kemampuan berkomunikasi yang pas.

Pamanku yang ke dua tersebut karakternya lebih baik walau tetap bersifat otoriter dalam berkomunikasi. Ia kurang memiliki kemampuan dalam memahami percakapan orang dan gaya berkomunikasinya kurang indah- bahasanya cenderung menghardik hardik dan membentak- bentak. Dalam urusan pendidikan anak, tentu saja ia tidak tahu sehingga rata-rata anaknya hampir hampir tidak ada yang tamat dari Sekolah Dasar. Nasibnya di usia tua juga cukup sengsara, karena istrinya jauh lebih muda dan sempat selingkuh dan menikah dengan pria lain. Akhirnya ia juga meninggal dalam pengasingan di rumah nenek.

Pamanku yang ke tiga cukup beruntung karena hingga saat ini ia sangat rukun dengan istrinya, walau mereka tidak punya keturunan. Namun ia tidak begitu dekat dengan semua keponakanya, ia jarang dan malas berkomunikasi dengan keponakannya. Akhirnya kaum kerabatnya juga tidak memiliki rasa kangen dan juga cenderung membiarkan karakter individualisnya. Suatu hari ia sakit keras dan hampir tidak ada kaum kerabatnya yang datang untuk membezuknya. Itulah hidup ini secara tidak langsung penuh dengan sebab akibat. Bahwa ia cenderung diabaikan (ignored) oleh yang lain karena ia juga tidak acuh pada kerabat dekatnya.

Tiga orang bibiku tidak pernah pergi ke kota dan tidak memperoleh ilmu yang cukup, maka persis wawasannya juga sempit dan miskin keberanian dan ilmu pengetahuan. Mereka menikah dengan pria-pria yang juga kurang terdidik dan berwawasan sempit. Hampir semua bibiku punya banyak anak. Yang paling sedikit, mempunyai 4 anak, itupun dua anaknya ada yang meninggal. Mereka hidup terlalu menyerahkan hidup pada garis nasib (hidup pasrah atau fatalistic) seperti aliran air. Ada apa gerangan ?

Suami- suami bibiku tidak punya rencana yang hebat dalam hidup mereka. Mereka cuma berfikir bahwa hidup hanya sekedar butuh makan dan pakaian, maka perjuangan mereka dalam hidup hanya sekedar mencari satu suap nasi atau satu liter beras per hari. Namun begitu anak lahir, mereka tidak tahu cara menumbuh-kembangkan anak dan apa yang harus dibutuhkan anak. Para suami bibiku adalah orang-orang kecil dan pola fikirannya juga sangat kecil.

Bibiku yang tua punya 7 anak dan suaminya hanya seorang petani kecil, hidup hanya mengandalkan hasil kebun. Ia tidak punya fikiran bisnis untuk menjual hasil kebunnnya, akhirnya ekonominya sangat minim dan layak dikatakan sebagai keluarga pra-sejahtera. Kenapa ? mereka hidup dalam rumah, yang cocok dikatakan sebagai gubuk, tanpa listrik, tanpa perabot dan fasilitas hidup yang layak dan menyantap makanan yang gizinya tidak memadai- mereka tidak kenal apa itu multi vitamin, apa itu susu dan apa itu makanan yang bergizi.

Hidup mereka hanya bersahaja, untuk makan ya cukup dengan nasi yang ditemani dengan rebusan sayur dan lumuran cabe. Mereka tidak kenal bagaimana standar pendidikan dan standar kesehatan. Untuk sekolah ya sekedar bisa mengeja kalimat- bukan bisa membaca buku. Dan untuk kesehatan maka mereka tidak kenal apa itu istilah pola makan “empat sehat dan lima sempurna”. Dalam keluarga mereka tidak ada kata kata motivasi yang ada hanya kata-kata “menyuruh, melarang, memarahi, menghardik dan kata-kata pasrah- wah kasihan kami memang orang susah dan kami orang miskin”. Demikian bagaimana anak- anak bisa memiliki motivasi dalam hidup dan bagaimana mereka bisa mendidik anak-anak dengan lancer. Sehingga semua anak-anak mereka putus sekolah saat masih di bangku SD dan juga hidup dengan pola pasrah pada takdir/ nasib.

Anak-anak mereka punya obsesi yang sangat praktis. Sebagian dari mereka membayangkan bahwa hidup enak adalah hidup di Jakarta atau di kota besar lainnya. Maka anaknya yang paling tua dengan modal nekad pergi ke Jakarta dan bermimpi untuk bias hidup enak. Namun, kenyataan kemudian, bahwa sudah puluhan tahun sang anak tidak pulang-pulang dan diperkrakan bahwa anaknya sudah jadi mayad dan jasad anaknya sudah terkubur dalam keganasan bumi Jakarta.

Bibiku yang paling tua segera menjadi janda. Suaminya pencandu rokok dan pencandu minuman kopi. Ia adalah perokok maniak dan peminum kopi maniak. Menghabiskan 2 sampai 3 bungkus rokok per hari. Lucu ya…untuk pembeli telur dan ikan- mengaku tidak punya uang namun untuk membeli rokok cukup mudah- ya demikianlah pola hidup orang miskin. Kemudian ia punya pola minum kopi sampai 3 gelas tiap hari- tentu saja bisa menderita gagal ginjal oleh zat racun yang ada pada kopi. Ya akhirnya sakit parah- gangguan paru-paru dan gagal ginjal, karena pola hidup yang tidak sehat.

Bibiku yang ke dua, juga menjadi janda. Suaminya kelewat sensitive dan orang-orang kampung juga usil dalam berbahasa- mereka paling gemar saling mengejek, saling mengkeritik dan saling menghina “Jadi suaminya hanya pintar b ikin anak dan bikin masalah” Tentu saja ejekan demikian bias membakar emosi dan bikin sakit hati. Miskinya gaya berkomunikasi- tidak ada bahasa yang santun- telah membuat hati saling terluka. Ya…bercerai dan tinggalah 5 orang anak dengan seorang ibu yang juga buta huruf dan buta keterampilan hidup.

Anak-anak yang tumbuh dengan ibu sebagai single parent yang miskin pengetahuan dan ketermpilan telah menumbuhkan anak-anak bermental lemagh dan hidup tanpa masa depan. Mereka memandang hidup ini begitu suram “wah buat apa aku harus lahir ke dunia kalau ditakdirkan jadi orang sengsara”. Hidup mereka hanya mengerjakan hal-hal yang sederhana- mengumpulkan pasir dan kerikil dari dasar sungai Batang Anai buat dijual dengan harga murah dan mereka hidup tanpa moto, kecuali selalu dalam keadaan rendah diri. Beberapa di antara mereka tidak menikah karena tidak tahu cara mengatakan “I love you pada lawan jenis”. Atau lawan jenisnya juga kurang tertarik karena mereka tidak bisa mengubah penampilan dan menggunakan bahasa yang indah. Sungguh penampilan dan bahasa yang indah amat berguna dalam hidup ini.

Sebenarnya nenekku tidak miskin karena ia mewariskan lahan tanah yang cukup luas- ada sawah dan ladang dalam ukuran cukup luas. Ada beberapa bidang tanah yang bagus untuk dikembangkan untuk ternak kambing atau ternak ayam/ itik. Namun lahan yang luas tidak ada artinya kalau ilmu dan wawasan kurang. Maka bagi mereka (kaum family) yang memiliki keberanian ya mereka pergi merantau ke metropolitan untuk menjadi buruh.

Malah ada yang telah tinggal cukup lama di metropolitan, kemudian terpaksa pulang kampung. Ternyata mereka juga sengsara di metropolitan, katanya “Dari pada sengsara di negeri orang biarlah sengsara di negeri sendiri”. Andaikata ibu dan ayahkuku tidak hijrah ke daerah lain dan maka kemungkinan pola pikiran ku dan juga orang tuaku juga akan sama dengan mereka (familiku yang di kampung.

Itulah aku merasa beruntung karena bisa hidup pada sebuah kota dengan lingkungan yang cukup heterogen. Sebetulnya kami- para anak anak dari sebuah keluarga- bisa jadi pintar, bukan terbentuk oleh pemodelan dari orang tua. Soalnya ibuku termasuk orang yang sangat otoriter dan pemarah. Dalam ia hanya menggunakan prinsip “menyuruh dan melarang”, pelanggaran atas disiplin yang ia bentuk sendiri akan dicambuk sebagai hukuman. Bagaimana dengan reward ? Reward atau pujian adalah hal yang sangat mahal. Dalam hidupku, orang tuaku mungkin tidak pernah mengajarkan dan memengucapkan kata “Maaf, terimakasih, dan kata kata pujian padaku”.

Ayahku sendiri, sebagai presiden di keluarga, hanya sebagai pemimpin laizzes faire- pemimpin yang serba membolehkan atau masa bodoh. Ayahku hanya cuma tahu bahwa kami hanya butuh makan, pakaian dan kesehatan. Ia berprinsip pada anak-anaknya “Terserah kamu, mau jadi orang gede atau tidak. Namun jadilah orang yang hebat”. Ternyata sepenggal harapan dari ayahku “jadilah orang yang hebat” cukup berguna dalam menggugah semangat juang ku.

Yang banyak menggugah semangat belajar dan semangat hidupku adalah faktor lingkungan dan bacaan yang sering aku konsumsi. Sampai sekarang aku merasa beruntung punya tetangga, dimana orang tua teman cukup peduli dengan makna pendidikan, aku keciprat kena pengaruh. Aku juga terlibat aktif dalam kelompok belajar dengan teman, kami juga punya aktivitas dengan teman-teman tetangga- ikut latihan karate/ dan silat (namun aku sering bolos karena latihannya malam-malam dan aku sering diserang oleh rasa kantuk), aku juga ikut dalam kegiatan karang taruna, aku senang bisa keliling RT buat mengumpul sumbangan. Dan setiap hari minggu pagi kami pergi ke lapangan sepak bola POLIKO untuk berolah raga. Aku bisa lari sepuluh kali keliling lapangan, itu berarti aku bisa lari sejauh empat kilo meter.

Aku juga beruntung bahwa ayahku ternyata juga suka membaca, akibatnya aku menyenangi bacaan. Akhirnya aku punya majalah sendiri yang aku beli tiap minggu- ada majalah Hai, Majalah Sikuncung dan majalah Kawanku. Lewat membaca aku punya sahabat pena dan kemampuan menulisku juga meningkat.

Aku menjadi gemar menulis, menulis cerpen, kisah nyata dan opini. Aku coba-coba menulis dan mengirimnya ke koran- koran dan majalah. Ya ada yang dimuat dan banyak yang ditolak, namun aku tidak patah semangat dan malah selalu menulis. Namun sejak tahun 1992 hingga sekarang tulisanku sudah puluhan atau ratusan yang sudah aku tulis dan dipublikasikan. Malah dua buah buku ku juga sudah terbit untuk skala nasional.

Aku juga memperoleh pengaruh dari orang orang dewasa yang ada di mesjid- mereka adalah para pengurus mesjid. Walau aku tidak memperoleh banyak pengaruh dari orangtua sendiri di rumah, namun orang-orang dewasa lain yang memberi aku perhatian, mengaggap aku sebagai anak mereka sendiri- mengajakku bercerita dan bertukar fikiran. Kadang kadang aku juga rindu dengan mereka. Namun aku tidak mungkin berjumpa dengan mereka, karena mereka mungkin sudah berada di alam sana- sudah meninggal dunia. Moga moga Tuhan (Allah) menyayangi mereka.

Tulisan ini aku tulis bukanlah untuk mengekpose tentang kekurangan keluargaku, tetapi aku ingin berbagi dengan banyak pembaca bahwa betapa banyak keluarga lain yang nasib mereka seperti nasib keluarga ku. Dibalik itu dapat dipetik kesimpulan bahwa betapa hidup ini butuh persiapan, rencana dan motivasi. Bahwa menikah dan punya keluarga itu perlu rencana dan butuh tanggung jawab. Bahwa siapa saja yang mau menikah perlu memiliki ilmu tentang berkeluarga, ilmu mendidik keluarga dan ilmu agama dan kesehatan. Bahwa betapa kekayaan fikran dan keterampilan hidup lebih berharga dari kekayaan alam.

Motivasi dan bahasa yang santun juga sangat dibutuhkan dalam hidup. Kemudian hidup kita bisa berubah melalui bacaan, melalui model atau contoh. Dan yang perlu juga untuk dimiliki adalah semangat juang dan semangat otodidak- atau self learning- dalam hidup. Sungguh hidup terasa indah bila kita memiliki kekayaan ilmu, kekayaan bahasa, kekayaan keterampilan, kekayaan spiritual dan juga kekayaan social/ kekayaan dalam bergaul.

Comments

Popular posts from this blog

Charles Babbage, Penemu Komputer Pertama !!???

Teori Arkeologi

Komunikasi Seorang Pemimpin: Bukan Memerintah Tetapi Bermohon